Permata Art: November 2008

Thursday, 27 November 2008

Tadi pagi…
Kau ucap satu kata perpisahan
dan aku membiarkannya
Bukan ku tak cinta (lagi)

Tadi pagi…
Ku dengar dari kesunyian
Tak seutas hadir penjelasan
Rupanya engkau emosi

Tadi pagi…
Satu kali saja semenjak ada
Kubiarkan maumu bertahta
hingga kau berbisik itu ilusi

Sungguh membingungkanku

Tegar

Melangkah tertatih, menjelang istana mimpinya
Suram masa lalu ketuk pintu paginya
Jalanan memaksa bijak dan dewasa
Hitam putih hari ’kan selalu menyapa
Sering dia terjatuh tergilas sesal luka cerita
Sejenak menafikan cahaya yang terpendam

Apakah terlalu lemah untuk menatap terang
Ataukah telah terlupa dalam genggam tangannya tersimpan asa
Tegarkanlah, meniti jejak kisahnya
Padamkanlah gelap yang merampas kilaunya
Pejamkanlah kelam yang membunuh esoknya

Masih dia berjalan, untaikan langkah yang tersisa
Harapkan senyuman sang bumi yang terpijak
Langitpun tersapa, bentangkan selimut putihnya
Teduhkan hari-hari yang ’kan menjemputnya

Muhammad Zaky Mubarok

THE BOOK FROM HUSNI

Jum'at yang panas, tak terasa ketika aku menginjakkan kakiku di La Tansa. Jika kalian kebetulan tinggal di kota Ponorogo, pastinya nggak asing lagi dengan toko buku yang kusinggahi tiap jum'at ini. Ya, maklumlah di kota yang kecil seperti ini belum ada toko buku besar seperti Gramedia atau Gunung Agung. Meskipun begitu, aku suka kesini karena tempatnya nyaman banget, lengkap lagi...…
Aku punya jadwal khusus, Minggu pertama aku pasti beli buku-buku baru atau yang udah lama kuincar. Minggu kedua, liat-liat aja dulu ada yang bagus apa nggak, paling Cuma beli majalah doang.. Minggu ketiga….yah, mulai pikir-pikir dulu. Kantong udah cekak nih..!! Minggu keempat, asli..Cuma niat jalan-jalan. He..he..he..kayak sekarang ini. Di kantong tinggal dua lembar gocengan, plus gopek buat pak jukir yang setia banget nungguin motor kesayanganku....
Untungnys mas-mas penjaga La Tansa udah pada hafal sama aku. Dari SMP sampai SMA kelas sebelas ini aku langganan di sini. Sering juga lho, ngeborong ! Tapi, seringkalai aku merasa nggak pede. Karena…..ehm, aku belum menutup seluruh aurot gitu lho. Padahal tau sendiri kan, toko ini cukup bernuansa islami. Nggak cukup aja, emang udah, rang ne badan usaha pondok yang dan terkenal banget gitu lho.....
Entahlah, aku belum berpikiran ke arah sana. Aku nggak mau dicap ikut-ikutan doang. Pakai jilbab, Cuma buat narik perhatian ikhwan itu. Ikut Rohis, karena kebetulan ketuanya atau kakak mentornya mak nyuuss (ih, mentang-mentang sering nonton pak Bondan jalan-jalan dan makan-makan !) Atau seperti Alan cs. Yang gosipnya mendadak rajin ikut kajian karena ada akhwat yang manis. Nggak lah yau….!! Aku nggak pengen, itu semua datang dari hati. Cie…cie….lagaknya puitis banget….!!
Balik lagi ke jum'at yang panas. Aku lagi nunggu seseorang, tapi bukan teman. Apalagi sodara ! bahkan aku nggak kenal siapa dia. Tas berisi buku inilah yang memaksa aku menunggu orang itu untuk mengembalikannya. Dari penampilannya, aku yakin dia santri Gontor. Tau Gontor kan ?? yups, anda benar. Pondok Modern yang terkenal banget itu lho. Sssst, yakin amat ? Amat aja nggak meyakinkan. He..he..he…
Yaiyalah… secara semua santri Gontor yang tumplek blek ke pusat kota Ponorogo tiap jum'at tuh penampilannya rata-rata sama. Standartnya, setelan kemeja putih dengan bawahan hitam atau gelap, rambut cepak, plus membawa segepok belanjaan dengan muka berseri-seri. Idih….samape apal, euy ! Tapi nggak tau juga sih, mereka berseri-seri karena rajin wudhu dan shalat atau karena seneng bisa jalan-jalan. Huss!!! Ngawur aja. Hi..hi..hi..., map-maap, santai bang….santai.......
Dua minggu yang lalu aku dan Anisa mampir shalat di masjid dekat Pasar Legi. Tak sengaja kulihat seorang cowok tergesa-gesa pergi dengan meninggalkan bungkusan plastik di anak tangga masjid. Aku berusaha menyusulnya, namun sudah tak terkejar lagi. Aku hanya sempat melihat wajahnya.
Fiuuuh….capek ya denger ocehanku ? Sama, aku juga capek berdiri terus diantara rak-rak buku ini. Kau meraih sebuah novel. Ah, lumayan. Paling nggak aku udah tau buku yang akan kubeli bulan depan. Yang kupegang ini kayaknya oke.
Ternyata susah banget nemuin orang itu, sodara-sodara !! Kenapa seh, orang itu nggak berpenampilan beda, rambut model Baim Wong misalnya, biar mudah dikenali. Satu-satunya petunjuk Cuma nota pembelian buku, dari situ aku tau kalau dia beli buku ini di La Tansa. Kalo kayak gini, laksana mencari jarum di jerami !! Osssh…tinggi amat neng, bahasanya ?! Iya dong, kan calon mahasiswi sastra (Amin!amin!!).
Tiba-tiba aku pengen berdoa. Kupejamkan mata sambil komat-kamit.
"Ya Allah. Berikan aku petunjukmu. Aku ikhlas berusaha mengembalikan buku ini kepada pemiliknya. Tapi ya Allah, aku nggak mau bawa-bawa buku ini terus. Karena sesungguhnya buku ini berat banget……. Amin ya robbal 'alamin, "Kuakhiri doaku dengan mengusap wajah imutku. Nah lhoh, kumat deh, Narsisnya !!
Sreeeeett……cling !! Astaga !
Sepintas aku menemukan sosok yang kucari-cari. Santri Gontor itu….pemilik buku ini !! Ya, aku yakin banget. Aku terheran, kok doaku secepat ini terkabul. Tau gitu, minggu lalu aku berdoa aja. Biar cepat ketemu ! eh, apa-apaan aku ini. Sok protes-protes ketentuan Allah ?
Tanpa mikir lebih lama lagi, aku menghampirinya. Penampilan rapi jali, sama seperti saat pertama aku melihatnya. Wiiiiihh, aku jadi minder nih. Jangan-jangan dia kaget lagi disamperin cewek berpenampilan semrawut kayak aku ini. Huuuh, emang gue pikirin apa…???
"Hai….eh, maksudku assalmu'alaikum?" wah, pake' lupa salam segala lagi !
"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh," Jawabnya super komplit,plit. Dia menatapku sejenak. "Maf, siapa ya ?" tanyanya.
"Oh ya, kenalin. Aku Husnia. Panggil aja Nia". kataku seraya mengulurkan tangan. Dia tampak sedikit terkejut. Dia tersenyum, kemudian mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
Tolol !!!! Harusnya aku ingat, orang kayak gini pasti sama seperti anak-anak ROHIS di sekolahku. Mereka anti salaman. Aku nggak tau apa maksudnya. Mungkin kalian tau ?! Atau pengen tau ? Tanya aja sama anak-anak ROHIS itu.
" Aku Husni. Nama kita mirip, kan ?"
" Oh ya?? Aneh ya, kok bisa kompakan…"
Kemudian kami tertawa, untungnya suasana mencair. Ternyata Husni orangnya santai, aku pikir semua anak Gontor sekaku penampilan mereka.
" Ohya, tunggu sebentar." Aku bergegas mengambil tas plastik Husni di penitipan barang.
"Ini punyamu, kan ? Dua minggu yang lalu ketinggalan di Masjid depan situ." Kuangsurkan bungkusan itu.
" Masya Allah, ini kan….?? Kupikir sudah hilang. Ah, aku ingat sekarang. Salahku juga waktu itu terburu-buru. Padahal, itu kan perbuatan syaithan. Untung ada orang sebaik kamu. Terima kasih banyak ya," Husni tersenyum, maniiiiiiiiiiiiisss….sekaleeeee!!
"sama-sama. Biasa aja lagi."
"Kalo gitu, aku harus berikan sesuatu untuk kamu. Tunggu sebentar," Husni beranjak pergi.
"Eh nggak usah. Aku ikhlas kok."
"aku juga ikhlas. Impas, kan ? bawa-bawa dua buku tebal kayak gini berat lho!!"
Katanya lagi. Ehm, emang berat sih….tau aja nih anak.
Lima menit kemudian, dia datang dengan sebuah bungkusan lagi ditangannya.
"Ini untukmu, bukanya di rumah saja."
" Apa ini ?"
" Semoga kau suka,"
" Terima kasih."
Husni mengangguk.
" Aku harus pergi, mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi. Assalau'alaikum…"
" Wa'alaikum salam,"
Aku menunggu Husni menghilang dari pandangan. Ah, kenapa pertemuan kami singkat sekali ?
Aku bahkan belum sempat nanya nomor hp-nya. (mang di pondok boleh bawa HP...???_ada-ada aja nich anak...)
Mentari mulai beranjak ke singgasananya. Aku harus pulang.
Rumahku sepi. Aku sudah terbiasa sendirilah di rumah, makanya aku sering beli buku banyak-banyak. Seluruh waktu luangku kuhabiskan untuk melahap buku. Maklum, aku bukan tipe orang yang hobi ikut ekskul. Nggak betah lama-lama mangkal di sekolah.
Aku tertegun ketika mengeluarkan buku yang dihadiahkan Husni. Kupandangi sampulnya. Selera bacaku terbenam saat membaca judul yang bikin aku keki. Dengan gambar seorang cewek berkerudung rapi, aku tambah yakin isinya pasti nggak jauh-jauh dari seputar……jilbab.
Glek !! Aku menelan ludah. Hatiku tersindir.
Kuhempaskan buku itu ke kasur. Tentu saja aku sering bahkan terlalu sering menemukan buku semacam itu di La Tansa. Entahlah, nggak ada alasan khusus mengapa aku nggak pernah menjamah buku-buku itu, apa lagi membelinya ! Aku membiarkan buku pemberian Husni itu tergeletak tak berdaya di kasur. Ada rasa enggan menyelimutiku untuk membacanya. Aku keluar kamar dan mulai menjalankan rutinitas soreku seperti biasa.
***
Seminggu berlalu.
Sehabis shalat maghrib, aku menata ulang meja belajarku. Rak-rak buku belum penuh, koleksiku masih sedikit sekali. Sedang asyik menyusun novel, tanganku menjangkau sebuah buku yang masih tersegel plastik rapi. Aduh, buku ini lagi ! Hadiah dari Husni.
Aku masih enggan membukanya. Tapi hati kecilku berkata, "Hei, kamu kok nggak menghargai pemberian orang lain seh ? Bukannya kamu benci jika pemberianmu tidak dihargai…..?"
Sejenak aku mulai bertanya pada diriku sendiri, kenapa ya, aku nggak berminat membacanya ? apa karena hanya tidak berminat atau aku memang pengecut ??!! Aku terlalu takut untuk membacanya. Bahkan melirik judulnya saja aku bergidik.
Hiiyyy…!!
Namun, rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Kuraih buku mungil itu dan mulai menjelajah isinya. Kata demi kata, kalimat dalam baris-baris itu mengalir tak terbendung. Terus menggodaku untuk membalik lembar-lembar yang mengandung magnet.
Sangat menarik !
Tak terasa lembar terakhir selesai kubaca.
Skak mat.
Sepertinya Allah sedang menegurku dengan perantara Husni. Ternyata selama ini hatiku telah terkotori, aku sering berprasangka buruk pada teman-temanku yang ingin memperbaiki diri dengan jilbab. Aku bersikap anti pati sama anak-anak ROHIS yang menurutku Cuma orang-orang aneh. Aku yang selalu menutup telinga rapat-rapat saat pak Mukhlas memberi ceramah pada tiap pertemuan pelajaran agama.
" Duuh….maaf ya teman-teman ? Maaf pak Mukhlas……" batinku menyesal.
Aku jadi paham kenapa anak-anak Rohis itu nggak salaman, aku kira mereka sok suci, steril, dll. Ya, aku tahu semua ini dari Husni. Husni yang baru ku kenal, yang baru ku temui sekali. Husni yang tak banyak bicara, yang lebih banyak menunduk saat ngobrol denganku (waktu itu kupikir ada yang salah dengan sepatuku, sampai-sampai dilihatin terus kayak gitu !).
Kulihat jarum jam menginjak pukul setengah sembilan. Astaghfirullah, aku belum shalat isya'. Ternyata benar kata May, "pekerjaan yang paling mudah dilakukan adalah menunda-nunda shalat, apa lagi yang paling rawan adalah shalat isya'". Katanya.
Dalam hati aku ingin sekali bertemu dengan Husni. Aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi padanya. Aku ingin suatu saat bertemu dengannya dengan penampilan rapi seperti perempuan di sampul buku pemberiannya ini.
TAMAT

>> Nisa

Permata Art

About Me

Categorias

Archive

Puisi

Thursday, 27 November 2008

Mau SMS Gratis.?

Tegar

THE BOOK FROM HUSNI